Bila Muslimah Menjadi Dokter atau Perawat
13 MARET 2011 TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR
Sungguh Islam sangat menjaga agama dan kehomatan kaum wanita. Dengan sebab itulah mereka diperintahkan untuk tetap tinggal di rumahnya dan tidak keluar darinya kecuali apabila ada hajat/ keperluan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab ayat 33)
Kalaulah memang kaum wanita terpaksa harus keluar dari rumahnya untuk bekerja, sungguh Islam pun sebenarnya tidak mencegahnya. Namun demikian, ada patokan-patokan syar’i yang harus diperhatikan agar kaum wanita tetap terjaga agama dan kehormatannya. Apakah patokan-patokan syar’i tersebut?
1. Harus Izin kepada Walinya
Yang dimaksud dengan wali disini adalah bapak, anak, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, suami, saudara seibu, paman dari jalur ibu, hakim atau yang menggantikannya.
2. Hendaknya Memakai Pakaian Syar’i
Yakni memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, bukan pakaian perhiasan, dan kain pakainnya tebal serta tidak transparan sehingga mampu menutupi tubuh yang ada dibaliknya dengan sempurna, juga tidak memakai minyak wangi yang baunya menyengat.
3. Aman dari Fitnah
Yakni terjaga agama dan kehormatannya ketika keluar rumah hingga kembali ke rumahnya. Dalam masalah ini, Islam memerintahkan kaum wanita agar memperhatikan hal-hal berikut ini:
- · Tidak menyepi dengan lelaki yang bukan mahromnya tanpa disertai oleh mahromnya
- · Tidak bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahromnya
- · Tidak melembutkan suaranya dihadapan laki-laki yang bukan mahromnya
- · Tidak mengumbar pandangannya
- · Tidak memperindah langkah-langkahnya ketika berjalan
4. Adanya Mahrom Saat Perjalanan
Maksudnya tatkala perjalanan menuju tempat kerja sudah mencapai batas jarak safar, maka hendaknya ia tidak pergi kecuali disertai oleh mahromnya
Dalam hal lapangan pekerjaan, kaum wanita diperbolehkan bekerja dengan medan amaliah yang sesuai dengan fitrahnya asal mampu menjagi diri, agama dan kehormatannya. Lapangan pekerjaan yang bersifat seperti ini amatlah banyak dan beragam, terlebih lagi pada zaman kita sekarang ini.
Seiring dengan makin majunya IPTEK, banyak kaum wanita yang bekerja sebagai dokter atau perawat. Bagaimanakah hukum pekerjaan ini bagi wanita muslimah? Untuk membicarakan hukum masalah ini, perlu kita ketahui terlebih dahulu jenis pasien yang dirawat oleh dokter atau perawat. Sebab, hukum masalah ini tergantung pada jenis pasien yang ditangani oleh kaum wanita.
Jenis pasien ada tiga macam, yaitu:
- · Pasien dari kalangan wanita
- · Pasien dari kalangan anak kecil (yang belum baligh, baik laki-laki maupun perempuan)
- · Pasien dari kalangan lelaki dewasa
Berdasarkan pembagian di atas, maka dokter terbagi menjadi beberapa golongan sesuai dengan jenis pasiennya, yaitu: dokter untuk pasien wanita, dokter untuk anak-anak, dokter untuk pasien laki-laki serta dokter umum atau spesialis yang menangani jenis pasien penyakit tertentu.
Berdasarkan ini, hukum seorang muslimah menjadi dokter terbagi menjadi beberapa macam:
Wanita Menjadi Dokter Khusus untuk Pasien Wanita
Hukum wanita menjadi dokter khusus bagi pasien dari kalangan kaum wanita adalah fardhu kifayah. Sebab dengan adanya dokter wanita, agama, dan kehormatan kaum wanita akan terjaga. Mengapa ? karena usaha pengobatan biasanya menuntut dibukanya sebagi anggota badan pasien.[1]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan: ”Sesungguhnya tetap tinggalnya kaum wanita di rumahnya dan melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah tangganya setelah menunaikan kewajiban agamanya, merupakan perkara yang sesuai dengan tabiat dan fithrah kewanitaannya. Dengannya akan didapatkan kebaikan untuk dirinya, masyarakat, dan generasi mendatang yang sedang tumbuh dan berkembang. Jika ia memiliki waktu lebih, maka boleh menyibukkan diri di medan amaliah khusus kaum wanita, seperti kegiatan belajar-mengajar khusus kaum wanita, menjadi dokter khusus kaum wanita dan lain-lainnya yang merupakan pekerjaan kaum wanita di tengah-tengah kaum wanita. Selain itu, akan didapatkan kesibukan yang bermanfaat bagi kaum wanita, serta didapatkan kerja sama dengan kaum laki-laki dalam membangun masyarakat. Dan hal ini juga merupakan sebab masing-masing jenis anak manusia (laki-laki dan perempuan) tetap berada pada amal dan tempat yang khusus bagi mereka.
Berkaitan dengan hal ini tentunya kita tidak melupakan peran ummahatul mukminin (ibu kaum mukminin, yakni istri-istri Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam) dan orang-orang yang menempuh jalan mereka dalam mengajarkan ilmu dari Allah dan Rasul-Nya dengan tetap menjaga diri, mengenakan hijab dan menjauhkan diri dari bercampur baur dengan laki-laki di dalam medan amaliah mereka” (Fatawa Nisa’iyyah, hlm. 22)
Wanita Menjadi Dokter Spesialis Anak
Dianjurkan bagi kaum wanita untuk menjadi seorang dokter spesialis anak, bahkan lebih utama bagi mereka untuk menerjuni medan amal ini dibandingkan kaum lelaki, sebab biasanya anak-anak akan berobat bersama ibu mereka. Ibu merekalah yang membawa mereka masuk menemui dokter untuk menjelaskan perihal anaknya.
Syaikh Dr. Mahmud Akam ketika menjawab sebagian pertanyaan yang diajukan oleh seorang wanita dalam masalah ini, beliau mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa pekerjaan Anda sebagai dokter spesialis anak merupakan perkara penting yang dibutuhkan oleh masyarakat kita. Karena Allah ta’ala banyak menyerahkan urusan tarbiyah (pendidikan) anak kepada kaum ibu. Dan tentunya jika yang menjadi dokter spesialis anak adalah kaum wanita maka akan lebih memiliki sifat asih, lemah lembut, dan lebih menjiwai kejiawaan anak.”[2]
Wanita Menjadi Dokter Bagi Pasien Dari Kalangan Laki-Laki
Ada dua cara bagi dokter wanita ketika mengobati kaum lelaki. Pertama, mengobati dan menangani segala kebutuhannya secara langsung. Cara ini diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat. Dan sesuatu yang darurat diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan. Diantara contoh keadaan darurot adalah ketika perang sedang berkecamuk antara kaum muslimin dengan kaum kafir dan saat itu banyak kaum muslimin terluka dan butuh pengobatan sementara tidak ada dokter laki-laki
Sebagi dalil dari pendapat ini adalah:
1. Dari Rubayyi’ bin Mu’awwidz radliyallahu’anha ia berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam, memberi minum dan mengobati kaum muslimin yang terluka, dan megusung jenazah kaum muslimin ke kota madinah.” (HR. Bukhori 2882)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah : “Di dalam hadist ini terdapat dalil bolehnya kaum wanita mengobati laki-laki asing (bukan mahrom baginya) dalam suasana darurat.” (Fathul Bari 6/3543-3544)
2. Berkata Hafshoh binti Sirin: Kami mencegah anak-anak perempuan kami keluar menuju sholat ‘ied. Maka datanglah seorang wanita dan singgah di istana Bani Kholaf, lalu saya menemui dan berbincang-bincang dengannya. Wanita tersebut mengatakan bahwa suami saudara perempuannya berperang bersma Nabishallahu’alaihi wa sallam sebanyak 12 kali, sementara saudara perempuannya menyertainya dalam peperangan sebanyak 6 kali. Lalu ia (saudara perempuan) mengatakan: Kami mengurus orang yang sakit dan mengobati orang yang terluka. (HR. Bukhori 950)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah: ”Dalam hadist ini terdapat beberapa faidah, diantaranya: bolehnya seorang wanita mengurusi pengobatan laki-laki asing (bukan mahromnya) jika hanya sekedar mengantarkan obat untuknya atau mengobati dengan tidak secara langsung kecuali dalam keadaan darurat.” (Fathul Bari 3/1380)
3. Dari Anas bin Malik radliyallahu’anhu ia berkata: ”Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam berperang bersama ummu sulaim dan beberapa wanita dari kaum anshor. Mereka memberi minum dan mengobati orang-orang yang terluka. ” (HR.Muslim 181)
Berkata an-Nawawi rahimahullah: ”Di dalamnya terdapat keterangan tentang bolehnya kaum wanita keluar berperang dan mengambil manfaat dari mereka berupa memberi minum, mengobati orang yang sakit, dan lain-lain. Dan mengobati orang yang sakit disini adalah orang yang sakit dari mahrom atau suami tidak boleh menyentuh kulit secara langsung kecuali jika dibutuhkan.” (Syarah Muslim 7/437-438 )
Kedua, mengobati dan menangani segala kebutuhannya tidak secara langsung. Yakni dengan cara ruqyah syar’iyyah [3]. Atau dengan memberi resep dengan berpedoman pada hasil diagnosis penyakit melalui laboratorium atau anamnesa dengan pasien tanpa menyentuh jasadnya. Cara ini merupakan cara syar’i dan diperbolehkan, berdasarkan hadist berikut:
Sesungguhnya seorang laki-laki dari kalangan kaum anshor terkena penyakit namlah (luka-luka pada samping lambung). Lalu ditunjukkan kepadanya perihal seorang wanita yang bernama syifa’ binti Abdulloh yang dapat mengobati penyakit namlah dengan cara ruqyah. Syifa’ menjawab: Demi Allah saya tidak pernah meruqyah lagi semenjak saya masuk Islam. Kemudian laki-laki anshir tersebut mendatangi Rasulullah shallahu’alaihi wa sallamdan mengabarkan kepada beliau apa yang diucapkan Syifa’. Akhirnya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallammemanggil Syifa’ dan mengatakan: ”Paparkan kepadaku ruqyahmu”. Lalu syifa’ memaparkan ruqyahnya kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam. Setelah itu Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Ruqyahlah laki-laki anshor tersebut dan ajarkan ruqyahmu kepada Hafshoh sebagaimana engkau mengajarinya menulis. ” (HR. Abu Dawud 3887)
Perincian hukum ini juga berlaku bagi kaum muslimah yang bekerja sebagai perawat atau tenaga medis lainnya, baik konvensional maupun tradisional.
Disalin dari: Majalah al-Mawaddah Edisi ke-7 Tahun ke-2 Shofar 1430 H, Februari 2009, hal. 31-33
Sumber: www.maramissetiawan.wordpress.com dan dipublikasikan ulang olehwww.ibnuabbaskendari.wordpress.com