Kabupaten
Kabupaten
DOMPU
Profil
Nama
Resmi
|
:
|
Kabupaten
Dompu
|
Ibukota
|
:
|
Dompu
|
Provinsi
|
:
|
NUSA TENGGARA BARAT
|
Baras
Wilayah
|
:
|
Utara: Kabupaten Bima dan Laut Flores
Selatan: Samudera Indonesia
Barat: Kabupatan Sumbawa
Timur: Kabupaten Bima
|
Luas
Wilayah
|
:
|
2.391,54 Km2
|
Jumlah
Penduduk
|
:
|
257.763 Jiwa
|
Wilayah
Administrasi
|
:
|
Kecamatan
: 8, Kelurahan : 9, Desa : 54
|
Website
|
:
|
(Permendagri No.66 Tahun 2011)
|
Sebagaimana
daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB), mempunyai catatan sejarah tersendiri. Seperti halnya Sejarah
Kesultanan Lombok, Sejarah Kesultanan Sumbawa, dan Sejarah Kesultanan Bima, Dompu dahulu kala
juga merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau kesultanan. Kerajaan Dompu
merupakan salah satu kerajaan yang paling tua khususnya di Indonesia Bagian
Timur. Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar
dan Kusuma Ayu dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan Dompu atau
(Kerajaan Dompo) adalah kerajaan yang paling tua di wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan
catatan sejarah di Dompu, sebelum terbentuknya kerajaan di daerah tersebut,
telah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai “Ncuhi” atau raja
kecil. Ncuhi terdiri atas empat orang yakni Ncuhi Hu`u yang berkuasa di daerah
Hu`u (sekarang Kecamatan Hu`u), Ncuhi Soneo yang berkuasa di daerah Soneo dan
sekitarnya (sekarang Kecamatan Woja dan Dompu). Selanjutnya Ncuhi Nowa berkuasa
di Nowa dan sekitarnya serta Ncuhi Tonda berkuasa di Tonda (sekarang wilayah
Desa Riwo Kecamatan Woja Dompu). Dari keempat Ncuhi tersebut yang paling
dikenal adalah Ncuhi Hu`u.
Menurut cerita rakyat dompu di
negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi Kula yang mempunyai anak perempuan bernama
Komba Rawe. Ncuhi tersebut kemudian dikenal dengan nama Ncuhi Patakula. Cerita
rakyat setempat menyebutkan, putra raja Tulang Bawang terdampar di daerah Woja
dalam pengembaraannya, tepatnya di wilayah Woja bagian timur. Kemudian putra
raja Tulang Bawang tersebut menikah dengan putri Ncuhi Patakula. Selanjutnya
para Ncuhi sepakat menobatkan putra raja Tulang Bawang sebagai raja Dompu yang
pertama. Sedangkan Raja Dompu ke-2 bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari
perkawinan antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara Dompu.
Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini adalah Dewa Mbora Bisu, yang
merupakan Raja Dompu yang ke-3. Raja ke-4 Dompu adalah Dewa Mbora Balada, yang
merupakan saudara dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa Indra Dompu. Pada abad XIX di
Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah. Kerajaan dikacaukan oleh
berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa pihak residen campur
tangan,Sultan Abdull Azis, putra Sultan Abdullah yang kemudian mengganti Sultan
Yakub, ternyata tidak mampu banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya.
Seluruh
kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang menghancurkan
desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu. Pada sekitar tahun 1809 Gubernur
Jenderal Daendels memerintahkan Gubernur Van Kraam untuk memperbaharui
perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima. Pada 5-12 April
1815, ketika Gunung Tambora meletus, akhirnya sepertiga dari penduduk tewas dan
sepertiga lainnya berhasil melarikan diri. Sultan Abdull Rasul II memindahkan
Istana Bata yang merupakan Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I
Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru, karena itu dia disebut dengan gelar
Bata Bou. Beliau diganti oleh putranya, Sultan Muhammad Salahuddin.
Salahuddin
mengadakan perbaikan dalam sistem dan hukum pemerintahaan. Dia pun menetapkan
hukum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama, sekaligus
menetapkan hukum adat yang dipakai adalah hukum Islam yang berlalu di wilayah
kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahaannya, Sultan dibantu oleh majelis
adat serta majelis hukum. Selanjutnya mereka (para pembantu itu) disebut
manteri dengan sebutan raja bicara, rato rasanae, rato perenta, dan rato Renda.
Mereka tergabung suatu dewan hadat, dan merupakan badan kekuasaan yang
mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Sultan.
LETUSAN
TAMBORA
Gunung Tambora yang meletus pada 10 – 11 April 1815, dalam catatan sejarah
Dompu, mengakibatkan tiga kerajaan kecil (Pekat, Tambora, dan Sanggar) yang
terletak di sekitar Tambora tersebut musnah. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu
pun kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Dompu. Pertambahan wilayah Kesultanan
Dompu tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi Dompu Baru,
yakni pergantian antara Dompu Lama ke Dompu Baru. Peristiwa tersebut
menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya. Ahli sejarah
Helyus Syamsuddin mengungkapkan, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya
dijadikan sebagai hari kelahiran Dompu, yang kemudian dikuatkan dengan
Peraturan Daerah No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004.
LETUSAN
TAMBORA, SEBUAH MISTERI LAHIRNYA DOMPU BARU
Seperti di daerah lain Lombok,Sumbawa dan Bima, Dompu dahulu kala juga
merupakan salah satu daerah bekas Kerajaan atau Kesultanan. Bahkan konon
Kerajaan Dompu merupakan salah satu Kerajaan yang paling tua khususnya di
bagian Indonesia Timur. Arkeolog dari Pusat balai penelitian arkeologi dan
Purbakala Drs.Sukandar dan Dra. Kusuma ayu pada saat melakukan penelitian di
Dompu beberapa waktu lalu pernah menyatakan bahwa dari berbagai hasil
penelitiannya di Dompu dapat disimpulkan bahwa Dompu (Kerajaan DOMPO-Red)
adalah Kerajaan paling tua diwilayah Timur Indonesia.
Namun
sayang, tidak seperti di Lombok,Sumbawa dan Bima dimana untuk mengetahui lebih
jauh tentang Kerajaan tempo dulu ketiga daerah tetangga tersebut banyak
didukung oleh berbagai bukti otentik yang dapat menggambarkan tentang peristiwa
sejarah tempo dulu,sedangkan di Dompu bukti otentik untuk mendukung keberadaan
sejarah masa lalu tampaknya masih sangat kurang sekali bahkan bisa dikatakan
hampir sudah tidak ada sama sekali. Barangkali inilah merupakan salah satu
tugas dan kewajiban khususnya bagi kalangan generasi muda di daerah ini untuk
lebih bekerja keras agar berbagai tabir misteri sejarah tempo dulu dapat segera
terungkap meskipun hal itu membutuhkan perjuangan dan usaha yang cukup menyita
waktu bahkan material sekalipun. Upaya pemkab Dompu dalam rangka untuk mencapai
hal tersebut patut kiranya didukung oleh semua pihak,bahkan pemkab Dompu
sendiri telah banyak berupaya dan tentunya pekerjaan tersebut akan sukses
apabila selalu mendapat dukungan serta do,a restu dari seluruh lapisan
masyarakat yang ada dan jangan malah pekerjaan itu dianggap hanya akan membuang
energi serta mubazir saja. “Orang bijak mengatakan,terlalu sombong dan munafik
apabila kita melupakan sejarah kita sendiri”, semoga hal itu tidak akan pernah
terjadi, amin.
Sejarah
mencatat,di dompu sebelum terbentuknya kerajaan konon didaerah ini berkuasa
beberapa kepala suku yang disebut sebagai “NCUHI” atau Raja Kecil, para ncuhi
tersebut terdiri dari 4 orang yakni Ncuhi Hu,u yang berkuasa diwilayah
kekuasaan daerah Hu,u (Sekarang kecamatan Hu,u Dompu – Red), kemudian Ncuhi
Saneo yang berkuasa didaerah Saneo dan sekitarnya (sekarang masuk dalam wilayah
Kecamatan woja Dompu), selanjutnya Ncuhi Nowa dan berkuasa didaerah Nowa dan
sekitarnya serta Ncuhi Tonda berkuasa diwilayah kekuasaannya yakni di sekitar
Tonda dan saat ini masuk dalam wilayah Desa Riwo kecamatan woja Dompu.
Diantara
keempat Ncuhi tersebut yang paling terkenal konon yakni Ncuhi Hu,u. menurut
cerita rakyat yang ada bahwa,konon di negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi
bernama “Sang Kula” yang akhirnya mempunyai seorang anak perempuan bernama
“Komba Rame”. Ncuhi ini kemudian terkenal dengan nama Ncuhi “Patakula”. Pada
saat itu konon terdamparlah putra Raja Tulang Bawang didaerah woja yang sengaja
mengembara di daerah Woja bagian timur. Singkat cerita akhirnya putra Raja
Tulang Bawang ini kawin dengan putrid Ncuhi patakula dan selanjutnya para Ncuhi
yang ada akhirnya sepakat untuk menobatkan putra Raja Tulang Bawang tersebut
sebagai Raja Dompu yang pertama. Pusat pemerintahannya konon disekitar wilayah
desa Tonda atau di desa Riwo masuk dalam wilayah kecamatan woja sekarang.
Sedangkan
Raja ke-2 Dompu adalah bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari perkawinana
antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara Dompu. Berturut-turut Raja
yang menguasai daerah ini adalah : Dewa Mbora Bisu,Raja dompu ang ke-3 adalah
yaitu yang menggantikan kakaknya Dewa Indra Dompu,cucu dari Indra Kumala. Dewa
Mbora Belanda : beliau adalah saudaranya dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa indra
Dompu yang menjadi Raja ke-4 didaerah ini. Dewa yang punya Kuda. Pengganti Dewa
Mbora Belanda adalah putranya yang bernama Dewa yang punya Kuda dan memerintah
sebagai Raja yang ke-5,Dewa yang mati di Bima.
Raja yang
dikenal sebagai seorang yang dictator,sehingga diturunkan dari tahta kerajaan
oleh rakyat Dompu ialah Dewa yang mati di Bima. Beliau konon menggantikan
ayahnya (Dewa yang punya Kuda) sebagai raja yang ke-6 di Dompu akan tetapi
karena hal itu akhirnya di bawa ke Bima dan meninggal di sana,dewa yang
bergelar “Mawaa La Patu”. Raja inilah sebenarnya yang akan di nobatkan sebagai
raja Dompu yang menggantikan dewa yang mati di Bima,namun beliau ke Bima dan
selanjutnya memerintah di sana. Pada masa pemerintahan Raja inilah terkenal
satu ekspedisi dari Kerajaan di pulau Jawa yakni kerajaan Majapahit yang konon
ekspedisi tersebut di pimpin oleh salah seorang Panglima perang bernama
Panglima Nala pada tahun 1344,namun ekspedisi tersebut ternyata gagal.
Oleh
rakyat dompu raja yang satu ini sangat dikenal sebagai raja yang disiplin dalam
menjalankan pemerintahanya,teratur dalam social ekonomi maupun politik sehingga
masyarakat saat itu memberi gelar sebagai “Dewa Mawaa Taho”, semula raja ini
dikenal dengan nama “Dadela Nata”. Beliau adalah raja yang ke-7 dan merupakan
raja Dompu yang terakhir sebelum masuknya ajaran Islam di Kerajaan Dompu,raja
tersebut berkedudukan atau bertahta di wilayah Tonda.
Ekspedisi
Majapahit yang dipimpin oleh Panglima Nala dan di bawah komanda Sang Maha Patih
Gajah Mada mengalami kegagalan pada ekspedisi pertama,selanjutnya menyusul
ekspedisi yang ke-2 pada sekitar tahun 1357 yang di Bantu oleh Laskar dari Bali
yang dipimpin oleh Panglima Soka. Ekspedisi yang ke-2 inilah Majapahit berhasil
menakklukkan Dompu dan akhirnya bernaung di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Melihat fenomena diatas maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kerajaan Dompu
tersebut ternyata sudah ada sebelum Majapahit,hal itu juga dapat dibuktikan
dalam isi sumpah Palapanya sang Gajah Mada dimana dalam isinya sumpahnya itu
disebutlah nama kerajaan DOMPO (Dompu-Red) sebagai salah satu kerajaan yang
akan di taklukkan dalam ekspedisinya tersebut.
Kesultanan
Dompu.
Pada abad
ke-XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah,Kerajaan di kacaukan
oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa memerlukan campur
tangan pihak residen. Sejak Sultan Abdull Azis,putra Sultan Abdullah yang
mengganti Sultan Yakub tidak banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya.
Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang
menghancurkan desa-desa yang ada diwilayah dompu saat itu. Pada sekitar tahun
1809 Gubernur Jenderal Daendels menegaskan,Gubernur Van Kraam untuk
memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di
Bima,begitu pula penggantinya sultan Muhammad Tajul Arifin I putra Sultan
Abdull Wahab,Sultan Muhammad tajul arifin I diganti oleh Sultan Abdull Rasul
II,adik beliau. Dari 5-12 April 1815 ketika tambora meletus akhirnya sepertiga
dari penduduk tewas dan sepertiga lainya berhasil melarikan diri.
Sultan
Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata (ASI NTOI) kini merupakan Situs Doro
Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang
baru (ASI BOU) Karena itu beliau disebut dengan gelar “Bata Bou”, beliau
diganti oleh putranya,Sultan Muhammad Salahuddin. Salahuddin mengadakan
perbaikan dalam system dan hokum pemerintahaan,beliau menetapkan hokum adat
berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama sekaligsu menetapkan hokum
adat yang dipakai adalah hokum Islam yang berlalu diwilayah kekauasaanny. Dalam
menjalankan pemeerintahaannyaSultan dibantu oleh majelis hadat serta majelis
hokum mereka itu dalam tatanan kepangkatan hadat dan hokum,mereka selanjutnya
mereka disebut manteri-manteri dengan sebutan “Raja Bicara,rato rasana,e, rato
perenta,dan rato Renda” mereka tergabung suatu dewan hadat,merupakan badan
kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan sultan.
Hadat juga
merupakan kelengkapan pemerintahaan yang berfungsi menjalankan hokum agama yang
di kepalai oleh “Kadi” atau sultan menurut keperluannya. Seperti sultan-sultan
sebelumnya,salahuddin tetap melakukan hubungan dengan pihak pemerintah kolonial
Belanda. Menurut Zolinger,sejak mengadakan perjanjian dengan kompeni pada
sekitar tahun 1669. selanjutnya Sultan Muhammad salahuddin diganti leh putranya
yakni Sultan Abdullah. Pada masa pemerintahaannya beliau menanda tangani
kontrak panjang pada tahun 1886 silam. Beliau Selanjutnya diganti oleh putrannya
Sultan Muhammad Siradjuddin yang memperbaharui konrak tersebut pada sekitar
tahun 1905. Sejarah juga menyebutkan bahwa Sultan pertama di Dompu setelah
adanya likuidasi pergantian pemerintahan dari sistim Kerajaan menjadi
Kesultanan yakni Sultan Syamsuddin I. Dan beliaulah merupakan pemimpin atau
Raja yang pertamakali memeluk agama Islam begitu sistim pemerintahaannya
berubah menjadi Kesultanan. Tahun 1958 Kesultanan dompu yang saat itu dipimpin
oleh Sultan dompu terakhir yakni Sultan Muhammad Tajul Arifin (Ruma To,i),
sistim pemerintahan di Dompu dirubah menjadi suatu daerah swapraja Dompu dan
Kepala daerah Swatantra tingkat II Dompu tahun 1958-1960.
Kerajaan
Sanggar.
Sanggar
merupakan kerajaan kecil yang terletak disebelah barat laut Dompu disebelah
timur kaki gunung tambora. Pada tahun 1805 raja sanggar meninggal dan
digantikan oleh saudaranya yakni Ismail ali Lujang. Pada abad ke-XIX,sebelum
tambora meletus dengan dahsyatnya, penduduk saat itu berjumlah skitar dua ribu
orang pada tahun 1808 dan meningkat menjadi dua ribu dua ratus orang pada tahun
1815.
Ketika
Tambora meletus pada bulan april 1815 sebagian besar penduduknya meninggal,dan
tinggal dua ratus orang saja dan karena diserang leh perampok pada tahun 1818
mereka melarikan diri ke Banggo di Kerajaan Dompu,dan sebagaian ke Gembe Bima.
Dengan bantuan gubernurmen pada tahun 1830 mereka akhirnya kembali ke sanggar.
Gubernurmen memberikan bantuan beberapa senapan dan amunisi untuk menjaga diri
dari srangan musuh. Pada tahun 1837 penduduk Sanggar masih berjumlah sekitar
tiga ratus tiga orang dan pada tahun 1847 meningkat menjadi tiga ratus lima
puluh orang atau jiwa. Rumah raja dibuat oleh rakyatnya sendiri dengan bahan
dari kayu pilihan secara gotong – royong. Raja dan para pembesar kerajaan saat
itu tidak di gaji tetapi tanah-tanah mereka dikerjakan oleh rakyatnya. Pada
awal abad ke- XX atau sejak Belanda menguasai pulau sumbawa secara
langsung,Kerajaan Sanggar di hapus serta digabungkan dengan kekuasaan
Kesultanan Bima hingga sekarang ini.
Kerajaan
Tambora.
Kerajaan
Tambora yang teretak pada suatu jazirah yang pada ketiga penjuru dibatasi oleh
laut. Disebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Sanggar dan Kerajaan Dompu
dengan luas areal wilayah 459 pal persegi. Seluruh kerajaan berada disekitar
kaki gunung Tambora (Gunung Arun). Sebelum Tambora meletus,air sudah sangat
kurang dan untuk mendapatkan air minum penduduk saat itu menggali sumur di
sekitar pantai. Rakyat tambora hidup dari berladang atau bercocok tanam serta
beternak dan meramu.
Ladang-ladang
cukup dilembabpi oleh embun dan karena itu mereka bertanam pada sekitar bulan
agustus dan panen pada bulan desember. Kekayaan yang utama adalah ternak kuda
dan hasil kayu hutan . setengah dari hasil Gubernemen dan setengah dari
kuda-kuda tersebut dikirim ke Kerajaan Bima pada tahun 1806 dan tahun 1807
berasal dari Tambora. Menurut Tobias,pada tahun 1808 Kerajaan Tambora
berpenduduk sekitar empat ribu iwa dan pada tahun 1815 atau setelah tambora
meletus penduduk kerajaan tambora sebagian habis tewas sebanyak tiga puluh ribu
jiwa lebih. Dan pada tahun 1816 sisa penduduk yang masih hidup akhirnya
meninggal semua karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar,selanjutnya
bekas Kerajaan tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut
digabungkan dengan wilayah Kesultanan Dompu hingga sekarang ini. Bekas Kerajaan
tambora kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pekat Dompu.
Kerajaan
Papekat (Pekat).
Dimasa
pemerintahan kabupaten Dompu,nama Pekat saat ini merupakan nama sebuah desa
yang terletak di wilayah kecamatan Pekat – Calabay Dompu (Nama Ibu Kota
Kecamatan Pekat) Konon nama Pekat berasal dari kata “Pepekat”.
Kerajaan
kecil ini tidak banyak meninggalkan atau menyimpan bukti-bukti untuk mendukung
keberadaan kerajaan tersebut tempo dulu bahkan hampir dikatakan tidak ada sama
sekali,hanya nama Pekat kini merupakan nama sebuah desa di kawasan lereng
gunung Tambora. Catatan sejarah menyebutkan,meskipun suatu kerajaan kecil
tetapi Pekat saat itu teraus diijinkan berdiri oleh pemerintah penjanjah VOC
terutama untuk membendung pengaruh dari Kerajaan Makassar ang sewaktu-waktu
dapat membentuk kekuatan di situ. Maka dengan Pekat pihak VOC mengikat terus
persahabatan yang baik sekali, tetapi akibat gunung Tambora meletus,akhirnya
penduduk di Kerajaan Pekat musnah seluruhnya kemudian bekas kerajaan Pekat
digabung kan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan dompu hingga sekarang ini.
Gunung
Tambora Meletus pada tanggal 10 – 11 April 1815, dalam catatan sejarah Dompu
letusan Tambora yang paling dahsyat yakni letusan pada tanggal 11 April 1815
yang mengakibatkan beberapa Kerajaan kecil yang terletak di sekitar Tambora
menjadi sasaran empuk musibah tersebut sehingga 3 Kerajaan kecil tersebut
musnah. Pralaya (Malapetaka) tersebut tampaknya di satu sisi berdampak positif
bagi berkembangan Kerajaan Dompu, sebab setelah sekian tahun lamanya dalam
perkembangan selanjutnya wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu bertambah luas
wilayahnya karena bekas wilayah 3 Kerajaan kecil pernah musnah akibat letusan
Tambora tersebut akhirnya masuk kedalam wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu
hingga sekarang ini. Dengan bertambahnya wilayah Kesultanan Dompu tersebut
(Pekat,Tambora dan sebagian wilayah Kerajaan Sanggar) maka moment tersebut
dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi DOMPU BOU (Dompu Baru),
yakni pergantian antara Dompu Lama dan Dompu Baru. Peristiwa tersebut
menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya. 11 April
1815 Tambora meletus dengan dahsyatnya, akibat letusan Tambora wilayah Dompu
dikemudian hari bertambah luasnya meliputi bekas Kerajaan Pekat, Kerajaan
Tambora. DOMPU YANG BARU pun akhirnya lahir. Oleh ahli sejarah Prof.DR.Helyus
Syamsuddin.PHd, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya dijadikan patokan dan
dasar yang kuat sehingga 11 April dijadikan sebagai hari lahir atau hari jadi
DOMPU. Selanjutnya melalui Peraturan Daerah (Perda) No.18 tanggal 19 Bulan Juni
2004 ditetapkan bahwa tanggal 11 April 1815 sebagai hari lahir/hari jadi Dompu.
MENYUSURI
JEJAK – JEJAK SEJARAH DOMPU di
ambil dari website: dompukab.go.id
Perisai
Perisai menggambarkan jiwa kepahlawanan rakyat Daerah Kabupaten Dompu didalam
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Warna
Biru Laut
Warna biru laut
melukiskan bahwa Daerah Kabupaten Dompu diapit oleh tiga buah teluk (Teluk
Cempi, Teluk Saleh, dan Teluk Sanggar) yang merupakan salah satu sumber
penghasilan rakyat bagi peningkatan taraf hidupnya.
Bintang
Bintang melukiskan pancaran Pancasila yang merupakan falsafah kehidupan bangsa
dan negara.
Warna
Kuning Emas
Warna kuning emas
melambangkan kejayaan cita-cita perjuangan rakyat untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran.
Bunga
Kapas dan Bulir Padi
Bunga kapas dan bulir
padi melukiskan bahan pokok bagi kemakmuran rakyat.
Rantai
Rantai melambangkan persatuan dan kegotong-royongan.
17
Kuntum Bunga Kapas, 8 Mata Rantai dan 45 Butir Padi
17 kuntum bunga
kapas, 8 mata rantai dan 45 butir padi melambangkan detik proklamasi 17 Agustus
1945
Kubah
Masjid
Kubah masjid yang
berwarna putih melambangkan rakyat daerah kabupaten Dompu yang taat dan patuh
dalam menjalankan perintah-perintah Agama.
Gunung
Gunung menjulang tinggi yang berwarna biru tua melambangkan harapan kemakmuran
bagi rakyat kabupaten Dompu.
Dataran
Dataran yang berwarna hijau melambangkan kesuburan bagi daerah kabupaten Dompu
sebagai daerah agraris.
Kuda
Kuda yang berlari bebas berwarna putih kemerah-merahan (Jara Gunu Kala)
menggambarkan tekad dan semangat daerah kabupaten Dompu didalam mengejar
ketinggalan di masa silam, disamping itu pula melambangkan daerah kabupaten
Dompu selain daerah agraris juga merupakan daerah peternakan.
Pita
Kuning
Pita yang berwarna
kuning dengan tulisan yang berwarna hitam dalam bahasa daerah 'NGGAHI RAWI
PAHU' melukiskan tekad masyarakat daerah kabupaten Dompu didalam melaksanakan
arti dan makna kata-kata hikmah yang turun-temurun berupa 'NGGAHI RAWI PAHU'
yang berarti satunya kata dan perbuatan dalam mewujudkan kenyataan.