KEWASPADAAN
DI RUMAH SAKIT
Oleh :
ARAHMAN
09 071 014 018
Kewaspadaan
Kewaspadaan
merupakan kombinasi segi-segi utama dari kewaspadaan universal (dirancang untuk
mengurangi risiko penularan patogen melalui darah dari darah dan cairan tubuh)
dan isolasi zat tubuh (dirancang untuk mengurangi risiko penularan penyakit
dari zat tubuh yang lembab).
Kewaspadaan standar diterapkan untuk:
1. Darah
2.
Seluruh cairan tubuh, sekresi dan
eksresi, kecuali keringat, tidak tergantung apakah ada atau tidak kandungan
darah yang terlihat;
3.
Kulit yang tidak utuh; dan
4. Selaput
lendir.
Kewaspadaan
standar dimaksudkan untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme dari kedua
sumber dari infeksi di rumah sakit yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
Dalam prinsip kewaspadaan standar, semua darah dan cairan tubuh harus
dipertimbangkan secara potensial terinfeksi dengan penyakit menular-darah
termasuk HIV dan hepatitis B dan C, tanpa terkait dengan status ataupun
faktor-faktor risiko seseorang.
Kewaspadaan standar termasuk penggunaan:
·
Cuci tangan
·
Alat pelindung diri (sarung tangan,
pakaian, masker, kapan saja menyentuh atau terpajan cairan tubuh pasien perlu
diantisipasi);
·
Penempatan pasien
·
Praktek terhadap lingkungan
(pembuangan limbah, tata rumah tangga, seprei/selimut yang kotor);
·
Penanganan dan pembuangan
benda-benda tajam
·
Cara-cara kerja
·
Penanganan dan pengangkutan contoh
(specimen)
·
Perawatan peralatan (pencucian, pengangkutan
dan pelayanan).
Mengapa kewaspadaan standar menjadi penting?
Terpajan
darah dan cairan tubuh dapat menyebarkan infeksi seperti hepatitis B dan C,
bakteri, virus dan HIV. Pajanan ini dapat terlihat dengan jelas (seperti ketika
menggunakan spuit untuk menusuk kulit) atau tidak kentara (saat darah atau
cairan tubuh dari orang yang terinfeksi kontak dengan lecet kecil pada
perawat). Infeksi dapat ditularkan dari pasien ke pasien yang lain, dari pasien
ke tenaga kesehatan atau dari tenaga kesehatan kepada pasiennya (meskipun hal
ini jarang terjadi). Tidak mengikuti kewaspadaan standar dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya penularan infeksi yang sebenarnya dapat dihindari.
Bagaimana kewaspadaan standar terjamin?
Sebelum tenaga kesehatan dapat mematuhi prosedur kewasapadaan standar,
otoritas nasional dan lembaga pelayanan kesehatan harus menjamin bahwa semua
pedoman dan kebijakan mereka cocok diterapkan di lokasi dan bahwa peralatan dan
persediaannya mencukupi. Untuk memudahkan tenaga kesehatan mematuhi praktek
pengendalian infeksi, kebijakan dan pedoman tingkat nasional dan lembaga
pemerintah harus:
·
Memastikan bahwa stafnya telah
dididik untuk memperlakukan semua zat/substansi tubuh sebagai bahan yang
infeksius. Tenaga kesehatan harus dididik mengenai risiko pekerjaannya dan
harus memahami kebutuhan menggunakan kewaspadaan standar bagi semua orang, di
setiap waktu, tanpa memandang diagnosisnya. Pendidikan selama pelayanan secara
reguler harus disediakan bagi semua tenaga medis maupun nonmedis di lingkungan
perawatan kesehatan. Sebagai tambahan, pendidikan pra-pelayanan untuk semua
tenaga kesehatan harus juga mengagendakan aspek kewaspadaan standar.
·
Memastikan bahwa tersedia para staf,
pasokan dan sarana yang memadai. Sementara
pendidikan bagi tenaga kesehatan adalah esensial, hal itu tidak cukup untuk
menjamin bahwa kewaspadaaan standar telah diperhatikan dengan baik. Untuk
mencegah bahaya dan infeksi kepada pasien dan karyawan, sarana kesehatan harus
menyediakan bahan-bahan yang diperlukan perawatan klinis. Sebagai contoh,
pasokan yang steril dan bersih, harus tersedia dengan cukup, walau di
lingkungan dengan sumber daya yang terbatas.
·
Penggunaan peralatan injeksi sekali
pakai, yang langsung dibuang harus tersedia dalam jumlah yang cukup bagi setiap
obat-obat injeksi yang ada dalam persediaan. Air, sarung tangan, bahan-bahan
pencuci, alat-alat untuk disinfeski dan sterilisasi termasuk alatalat untuk
memantau dan mengawasi proses ulang yang harus dilakukan. Persediaan air yang
cukup dan mudah didapat adalah kunci bagi upaya pencegahan infeksi yang
berkaitan dengan tempat pelayanan kesehatan. (Walaupun air mengalir tidak
tersedia di semua tempat, tetapi semua cara untuk mendapatkan air yang cukup
harus terjamin). Alat-alat untuk pembuagan yang aman bagi limbah medis dan
laboratorium, dan tinja harus tersedia.
·
Mengadopsi standar-standar lokal
yang cocok untuk menjamin keselamatan pasien dan karyawan, merupakan upaya yang
berdasarkan bukti dan efektif. Penggunaan yang tepat dari persediaan, kebutuhan
pendidikan dan pengawasan staf, harus digambarkan dengan jelas dalam kebijakan
dan pedoman lembaga. Lebih lanjut, kebijakan dan pedoman harus didukung oleh
ketersediaan pasokan dan standar untuk memantau dan mengawasi upaya yang telah
ditetapkan.
·
(Pengawasan reguler pada lingkungan
perawatan kesehatan dapat membantu menghambat atau mengurangi risiko bahaya
yang berhubungan dengan perawatan kesehatan di tempat kerja). Jika terjadi
cedera atau kontaminasi yang mengakibatkan terpajan dengan bahan yang telah
terinfeksi HIV, konseling, pengobatan, tindak lanjut dan perawatan pasca
pajanan, harus tersedia.
·
Mencari upaya untuk mengurangi
prosedur-prosedur yang tidak diperlukan. Sarana kesehatan harus menentukan
kapan prosedur berisiko telah terlihat, dan tenaga kesehatan butuh untuk
dilatih untuk menjalankan prosedur yang hanya dilakukan saat benar-benar
diperlukan. Sebagai contoh, pekerja harus menghindari transfusi darah saat
tidak diperlukan dan harus mengganti dengan prosedur yang lebih aman jika
memungkinkan (seperti penggunaan larutan pengganti). Injeksi yang tidak perlu
harus juga dihilangkan. Bilamana pengobatan dibutuhkan, pedoman harus
merekomendasikan penggunaan obat oral bila sesuai. Kepatuhan terhadap pedoman
ini tetap harus dipantau.
·
Membentuk suatu kelompok
multidisiplin untuk menilai dan mengagendakan penggunaan kewaspadaan standar.
Sebuah kelompok multidisiplin harus disusun untuk menyampaikan masalah
pencegahan, menilai cara dan sumber daya yang ada sekarang untuk pencegahan,
membangun sistem surveilen untuk mendeteksi pasien dan tenaga kesehatan dari
akuisisi infeksi, membangun kebijakan dan prosedur, mendidk personil dan
memantau kepatuhan.
·
Menciptakan tuntutan konsumen
terhadap praktek perawatan kesehatan yang lebih aman. Tuntutan untuk prosedur
kerja yang aman, seperti penggunaan peralatan injeksi yang baru, langsung
dibuang, sekali pakai dan pengobatan oral, dapat membantu memepercepat
pelembagaan kewaspadaan standar.
Sumber daya manusia, infrastuktur dan pasokan yang
dibutuhkan
Sebagai tambahan bagi pedoman institusional dalam pengendalian infeksi, persediaan dan sarana yang dijelaskan diatas harus tersedia: tempat mencuci tangan, penigkatan persediaan air, peningkatan sistem ventilasi, sarana sterilisasi, persediaan pencucian, obat-obat oral, jarum dan spuit steril sekali pakai, wadah benda tajam, desinfektan, kapasitas leboratorium, peralatan dan reagen laboratorium, dan obat anti-retroviral. Pengelolaan limbah pelayanan kesehatan mungkin membutuhkan konstruksi khusus, seperti inienerator dan pilihan lain dari insinerator.
Mengangkat seorang spesialis pengendalian infeksi atau seorang staf administratif untuk mengurangi angka infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan akan sangat menguntungkan. Upaya-upaya pencegahan infeksi harus menjadi bagian dari pelatihan tenaga kesehatan tersebut, yang harus diawasi secara rutin dalam pekerjaannya. Usaha-usaha khusus harus dibuat untuk memantau dan mengurangi prosedur invasif yang tidak diperlukan. Sebagai tambahan, asosiasi profesi, termasuk asosiasi perawat nasional dan asosiasi kedokteran nasional, harus bersatu dalam melindungi tenaga kesehatan dan mendukung prinsip “kerjakan sejak pertama tanpa membahayakan”.
Sebagai tambahan bagi pedoman institusional dalam pengendalian infeksi, persediaan dan sarana yang dijelaskan diatas harus tersedia: tempat mencuci tangan, penigkatan persediaan air, peningkatan sistem ventilasi, sarana sterilisasi, persediaan pencucian, obat-obat oral, jarum dan spuit steril sekali pakai, wadah benda tajam, desinfektan, kapasitas leboratorium, peralatan dan reagen laboratorium, dan obat anti-retroviral. Pengelolaan limbah pelayanan kesehatan mungkin membutuhkan konstruksi khusus, seperti inienerator dan pilihan lain dari insinerator.
Mengangkat seorang spesialis pengendalian infeksi atau seorang staf administratif untuk mengurangi angka infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan akan sangat menguntungkan. Upaya-upaya pencegahan infeksi harus menjadi bagian dari pelatihan tenaga kesehatan tersebut, yang harus diawasi secara rutin dalam pekerjaannya. Usaha-usaha khusus harus dibuat untuk memantau dan mengurangi prosedur invasif yang tidak diperlukan. Sebagai tambahan, asosiasi profesi, termasuk asosiasi perawat nasional dan asosiasi kedokteran nasional, harus bersatu dalam melindungi tenaga kesehatan dan mendukung prinsip “kerjakan sejak pertama tanpa membahayakan”.
Apakah itu infeksi nosokomial?
‘Infeksi
nosokomial’ adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Sebetulnya
rumah sakit memang sumber penyakit! Di negara maju pun, infeksi yang didapat
dalam rumah sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada
20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10
persen pasien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi yang baru selama
dirawat – 1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia, penelitian yang
dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8
persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat.
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian
tengah gambar berikut), yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui
tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu masuk ke tempat
tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di rumah sakit rentan terhadap
infeksi (terutama Odha yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka
dapat tertular dan jatuh sakit ‘tambahan’. Selanjutnya, kuman penyakit ini
keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.
Pada 1847, seorang dokter bernama Ignaz Semmelweis
bekerja di bagian kebidanan di sebuah rumah sakit di Vienna, Austria.
Semmelweis mengamati bahwa angka kematian di antara ibu di bangsal yang
dilayani oleh mahasiswa kedokteran tiga kali lebih tinggi dibandingkan bangsal
yang dilayani oleh bidan. Semmelweis mendalilkan bahwa hal ini terjadi karena
mahasiswa langsung ke bangsal kebidanan setelah belajar otopsi (bedah mayat),
dan membawa infeksi dari mayat ke ibu yang melahirkan. Dia memerintahkan dokter
dan mahasiswa untuk mencuci tangannya dengan larutan klorin sebelum
memeriksakan ibu tersebut. Setelah aturan ini diterapkan, angka kematian
menurun menjadi serupa dengan bangsal yang dilayani oleh bidan.
Dengan
masalah infeksi nosokomial menjadi semakin jelas, dicari kebijakan baru untuk
menguranginya. Solusi pertama pada 1877 adalah mendirikan rumah sakit khusus
untuk penyakit menular. Pengenalan sarung tangan lateks pada 1887 membantu
mengurangi penularan. Tetapi dengan peningkatan mortalitas (angka kematian) di
1960-an, Departemen Kesehatan di AS pada 1970 mengeluarkan kebijakan untuk
mengisolasikan semua pasien yang diketahui tertular infeksi menular. Namun
kebijakan ini kurang berhasil serta menimbulkan banyak masalah lain. Perhatian
pada masalah ini menjadi semakin tinggi dengan munculnya HIV pada 1985,
kebijakan kewaspadaan universal dikenalkan pada 1985.
Sesuai
dengan kebijakan ini yang dikembangkan pada 1970, semua pasien yang diketahui
terinfeksi penyakit menular melalui tes wajib diisolasi. Kebijakan ini
menentukan tujuh kategori isolasi berdasarkan sifat infeksinya (daya menular,
ganas, dll.). Kewaspadaan khusus (sarung tangan dsb.) dengan tingkat yang
ditentukan oleh kategori hanya dipakai untuk pasien ini.
Teknik isolasi mengurangi jumlah
infeksi nosokomial, tetapi timbul beberapa tantangan:
·
Peningkatan dalam jenis dan jumlah
infeksi menular, sehingga semakin banyak tes harus dilakukan, dan semakin
banyak pasien harus diisolasi
·
Hasil tes sering diterima terlambat,
sering setelah pasien pulang
·
Biaya sangat tinggi, bila semua
orang dites untuk setiap infeksi
·
Stigma dan diskriminasi meningkat
bila hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites untuk menenkankan biaya
·
Hasil tes dapat negatif palsu (hasil
negatif walau terinfeksi), terutama dalam masa jendela, dengan akibat petugas
layanan kesehatan kurang waspada
·
Sebaliknya hasil tes positif palsu
(hasil positif walau tidak terinfeksi), dengan akibat kegelisahan untuk pasien
dan petugas layanan kesehatan
·
Perhatian pada hak asasi
mengharuskan pasien memberi informed consent (disertai oleh konseling
untuk HIV) – apa yang dilakukan bila pasien tidak menyetujui tes?
·
Sangat sulit menjaga kerahasiaan
Sejak AIDS diketahui, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal
(KU) dikembangkan. Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan
tertentu lain dapat mengandung infeksi, tidak memandang status sumbernya. Lagi
pula, semua alat medis harus dianggap sebagai sumber penularan, dan penularan
dapat terjadi pada setiap layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi
dan persalinan, pada setiap tingkat (klinik dan puskesmas sampai dengan rumah
sakit rujukan). Harus ditekankan bahwa kewaspadaan universal dibutuhkan tidak
hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV tetapi yang tidak kalah penting
terhadap infeksi lain yang dapat parah dan sebetulnya lebih mudah menular, mis.
virus hepatitis B dan C. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan
universal secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien. Kita biasanya
menganggap cairan yang dapat menular HIV sebagai darah, cairan kelamin dan ASI
saja. Namun ada cairan lain yang dapat mengandung kuman lain, dan dalam sarana
kesehatan, lebih banyak cairan tubuh biasanya tersentuh. Contohnya, walaupun
tinja tidak mengandung HIV, cairan berikut mengandung banyak kuman lain:
Nanah, cairan
ketuban, cairan limfa, kskreta: air seni, tinja, dll...
Jelas ada beberapa kegiatan yang umum dilakukan oleh petugas layanan
kesehatan yang menimbulkan risiko, termasuk:
·
Suntikan/ambil darah
·
Tindakan bedah
·
Tindakan kedokteran gigi
·
Persalinan
·
Bersihkan darah/cairan lain
Sebaliknya ada beberapa perilaku yang salah,
yang menempatkan petugas layanan kesehatan atau pasien dalam keadaan berisiko,
termasuk:
·
Tutup jarum suntik kembali
·
Salah letak jarum atau pisau/alat
tajam
·
Sentuh pasien tanpa cuci tangan
Unsur
kewaspadaan universal yang berikut melindungi terhadap tindakan ini:
·
Pakai alat pelindung yang sesuai
·
Pengelolaan alat tajam (disediakan
tempat khusus untuk membuang jarum suntik dan semprit)
·
Dekontaminasi, sterilisasi,
disinfeksi
·
Pengelolaan limbah
Unsur kedua
kewasapadaan universal adalah penggunaan alat pelindung yang sesuai tindakan.
Alat yang dibutuhkan dapat hanya sarung tangan (mis. untuk ambil darah) hingga
semua alat ini yang dibutuhkan oleh seorang bidan waktu membantu kelahiran. Namun
perawat yang hanya menyentuh pasien tidak membutuhkan sarung tangan – yang
penting cuci tangan sebelum dan sesudahnya.
·
Sarung tangan
·
Celemek
·
Masker – pelindung muka
·
Kacamata
·
Pelindung kaki
Kewaspadaan universal tidak hanya dibutuhkan dalam sarana kesehatan resmi,
tetapi juga terkait perawatan di rumah. Sekali lagi, tujuan utama adalah untuk
melindungi Odha dan keluarga/tim perawatan dari berbagai infeksi, bukan hanya
HIV – justru risiko penularan HIV pada keluarga di rumah sangat amat rendah.
Jadi kita harus menganggap sebagian besar cairan tubuh sebagai sumber infeksi.
Prosedur kewaspadaan universal untuk perawatan di
rumah serupa dengan di rumah sakit, hanya mungkin lebih sederhana. Bila tidak
ada sarung tangan, secara darurat kita dapat memakai kantong plastik yang utuh.
Yang penting kita menutup semua luka pada kulit dengan plester luka. Mungkin
yang paling penting adalah untuk menjaga kebersihan di rumah. Cucian biasanya
tidak membutuhkan perhatian khusus asal tidak tercermar cairan; bila tercemar
lebih baik dicuci dengan pemutih dulu (larutan klorin 0,5%) dengan memakai
sarung tangan, kemudian dapat dicuci dengan sabun seperti biasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Freeman Mason W, Junge Christine. Kolesterol Rendah
Jantung Sehat. Jakarta : BIP, 2008.
.Razak RA. Artikel MPOC. Kolesterol Berlebihan Risiko Sakit
Anonymous. Atasi Stroke dengan Cabai. 2008 Oct. (cited 2009 feb
9).
.
Murray Robert K, Granner Daryl K, Mayes Peter A, Rodwell Victor W.
Bani Anna P,
Sikumbang Tiara M. N, editor. Biokimia Harper. 25th ed. Jakarta :
EGC. 2003.
Japardi Iskandar. Patomekanisme stroke infark aterotrombotik. 2002
(cited 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar