KEPERAWATAN ANAK
ASKEP
KEJANG DEMAM
OLEH
KELOMPOK IV :
ARAHMAN
SARI M.
JOKO DARMINTO
NURHIDAYAH WANTY
SARPUDDIN L. LAFATA
JURUSAN
KEPERAWTAN
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2012
I.
KONSEP MEDIS
A.
Defenisi Kejang
Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. (Arif Mansjoer. 2000)
Kejang demam (febrile convulsion) ialah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. (Taslim. 1989)
Kejang Demam (KD) adalah kejang yang terjadi pada suhu
badan yang tinggi. Suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan
ekstrakranial. (Livingston, 1954)
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara
tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau
memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari
kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam
tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak
pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat seorang
bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat (1,2). Hal ini
dapat terjadi pada 2-5 % populasi anak. Umumnya kejang demam ini terjadi pada
usia 6 bulan – 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada
usia <> 3 tahun. (Nurul Itqiyah, 2008)
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena
peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun. Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling
sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan
bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. (Ngastiyah,
1997; 229).
B.
Etiologi Kejang
Demam
Penyebab
kejang demam menurut Buku Kapita Selekta Kedokteran belum diketahui dengan
pasti, namun disebutkan penyebab utama kejang demam ialah demam yag tinggi.
Demam yang terjadi sering disebabkan oleh
:
1.
Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA)
2.
Gangguan metabolik
3.
Penyakit infeksi
diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media, bronchitis.
4.
Keracunan obat
5.
Faktor herediter
6.
Idiopatik.
(Arif Mansjoer. 2000).
C. Patofisiologi
Kejang Demam
Untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan
diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi
karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya,
kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam
sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion
didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial
nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan
sel.
Keseimbangan
potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang
extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran
sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65
% dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada
anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat
terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat
terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini
sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel
sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga
mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit
biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi
otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya
asidosis.
D.
Klasifikasi
Kejang Demam
Menurut Livingston ( 1954) Kejang demam di bagi atas dua
:
Kejang demam sederhana : Kejang demam yang berlangsung
singkat. Yang digolongkan kejang demam sederhana adalah :
1.
Kejang umum
2.
Waktunya singkat
3.
Umur serangan kurang
dari 6 tahun
4.
Frekuensi serangan 1-4
kali per tahun
5.
EEG normal
Sedangkan menurut sebagian saraf anak FKUI, memodifikasi
criteria livingston untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana yaitu :
1.
Umur anak ketika
kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
2.
Kejang berlangsung
sebentar, tidak melebihi 15 menit.
3.
Kejang bersifat umum.
4.
Kejang timbul dalam 16
jam pertama
5.
Pemeriksaan neurologist sebelum dan sesudah kejang normal
6.
Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7.
Frekuensi bangkitan
kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
(Taslim. 1989)
E.
Manifestasi
klinis
Gejala
berupa :
1.
Suhu anak tinggi.
2.
Anak pucat / diam saja
3.
Mata terbelalak ke atas disertai
kekakuan dan kelemahan.
4.
Umumnya kejang demam
berlangsung singkat.
5.
Gerakan sentakan
berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
6.
Serangan tonik klonik ( dapat berhenti
sendiri )
7.
Kejang dapat diikuti
sementara berlangsung beberapa menit
8.
Seringkali kejang
berhenti sendiri.
(Arif Mansjoer. 2000)
F.
Komplikasi
Menurut Taslim S. Soetomenggolo dapat mengakibatkan :
1.
Kerusakan sel otak
2.
Penurunan IQ pada
kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan bersifat unilateral
3.
Kelumpuhan
(Lumbatobing,1989)
G.
Pemeriksaan Laboraturium
1.
EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak
akibat lesi organik, melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang setelah
kejang.
2.
CT SCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark,
hematoma, edema serebral, dan Abses.
3.
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal
(cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan
meningitis
4.
Laboratorium
Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit )
mengetahui sejak dini apabila ada komplikasi dan penyakit kejang demam.
(Suryati, 2008), ( Arif Mansyoer,2000), (Lumbatobing,1989)
H.
Penatalaksanaan
Medis
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu
dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan Fase Akut
Seringkali
kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah
aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi
terjami. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,
pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air
dan pemberian antipiretik.
Obat
yang paling cepat menghentikan kejangadalah diazepam yang diberikan intravena
atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti
sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak
timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau
pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila
kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak
berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan
menyebabkan iritasi vena.
Bila
kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan
langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg
dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian
diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan
secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total
tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran
dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin
dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
2.
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan
cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan
dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau kejang demam berlangsung
lama.
3.
Pengobatan profilaksis
Ada
2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2)
profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis
intermiten diberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari
dibagi menjadi 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara
intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien
menunjukkan suhu lebih dari 38,5 0 C. efek samping diazepam adalah
ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis
terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy
dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital
4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah
asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama
1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus menerus dapat
dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
a.
Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
b.
Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist
sementara dan menetap.
c.
Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
d.
Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu
criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang maka berikan profilaksis
intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rectal tuap 8
jam disamping antipiretik.
( Arif Mansyoer,2000).
II.
Konsep asuhan
keperawatan
A.
Pengkajian
Menurut
Doenges (1993 ) dasar data
pengkajian pasien adalah :
1.
Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan
oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan
otot
Gerakan involunter / kontraksi otot
ataupun sekelompok otot.
2.
Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi,
peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau
depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
e.
Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan
kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).
3.
Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap
makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
berhubungan dengan aktifitas kejang.
4.
Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
5.
Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot /
punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot. Tingkah
laku distraksi / gelisah.
6. Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus.
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal :
apnea.
B.
Pemeriksaan diagnsotik
1.
Periksa darah / lab : Hb. Ht, Leukosit, Trombosit
2.
EEG
3.
Lumbal punksi
4.
CT-SCAN
C.
Diagnosa Keperawatan
1.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
2.
Tidak Efektinya Bersihan Jalan Nafas b.d Peningkatan Sekresi Mukus
3.
Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu
tubuh
4.
Resiko tinggi kejang
berulang b.d riwayat kejang
5.
Perubahan Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
D. Intervensi keperawatan
1.
Dx 1 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan kebutuhan cairan klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
a.
TTV stabil
b.
Menunjukan adanya
keseimbangan cairan seperti output urine adekuat
c.
Turgor kulit baik
d.
Membrane mukosa mulut
lembab
Intervensi :
a.
Ukur dan catat jumlah muntah yang dikleuarkan, warna, konsistensi.
R/ : menentukan kehilangan dan kebutuhan cairan tubuh
b.
Berikan makanan dan cairan
R/ : memnuhi kebutuhan makan dan minum
c.
Berikan support verbal dalam pemberian cairan
R/ : meningkatkan konsumsi cairan klien
d.
Kolaborasi berikan pengobatan seperti obat antimual.
R/ : menurunkan dan menghentikan muntah klien
e.
Pantau Hasil Pemeriksaan Laboratorium
f.
R/ Untuk mengetahui status cairan klien.
2.
Dx 2 Tidak Efektinya
Bersihan Jalan Nafas b.d Peningkatan Sekresi Mukusa
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
bersihan jalan nafas efektif
Kriteria hasil :
a.
Sekresi mukus
berkurang
b.
Tak kejang
c.
Gigi tak menggigit
Intervensi :
a.
Ukur Tanda-tanda vital
klien.
R/ : untuk mengetahui status keadaan klien secara umum.
b.
Lakukan penghisapan
lendir
R/ : menurunkan resiko aspirasi
c.
Letakan klien pada
posisi miring dan permukaan datar
R/ : mencegah lidah jatuh kebelakang dan menyumbat jalan
nafas
d.
Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada
dan abdomen
R/ : untuk memfasilitasi usaha bernafas
3.
Dx. 3 Gangguan volume
cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu tubuh
Tujuan : Keseimbangan cairan terpenuhi
a.
Observasi TTV (suhu
tubuh) tiap 4 jam
R/ peningkatan suhu tubuh dari yang
normal membutuhkan penambahan cairan.
b.
Hitung Intak &
Output setiap pergantian shift.
R/ Untuk mengetahui keseibangan cairan
klien.
c.
Anjurkan
pemasukan/minum sesuai program.
R/ membantu mencagah kekurangan
cairan.
d.
Kolaborasi pemeriksaan lab : Ht, Na, K.
R/ mencerminkan tingkat / derajat dehidrasi.
4.
Dx. 4 Resiko
tinggi kejang berulang b.d riwayat kejang
Tujuan : Agar tidak terjadi kejang
berulang
a.
Observasi TTV (suhu tubuh) tiap 4 jam
R/ peningkatan suhu tubuh dapat mengakibatkan kejang
berulang.
b.
Observasi tanda-tanda
kejang.
R/ untuk dapat menentukan intervensi
dengan segera.
c.
Kolaborasi pemberian
obat anti kejang /konvulsi.
R/ menanggulangi kejang berulang.
5.
Dx. 5 Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat.
Tujuan : Peningkatan status nutrisi
a.
Tingkatkan intake
makanan dengan menjaga privasi klien, mengurangi gangguan seperti
bising/berisik, menjaga kebersihan ruangan.
R/ cara khusus meningkatkan napsu
makan.
b.
Bantu klien makan
R/ membantu klien makan.
c.
Selingi makan dengan
minum
R/ memudahkan makanan untuk masuk.
d.
Monitor hasil lab seperti HB, Ht
R/ : Monitor status nutrisi klien
e.
Atur posisi semifowler saat memberikan makanan.
R/ : Mengurangi regurtasi.
E. Evaluasi Keperawatan
1.
Kekurangan volume cairan tidak terjadi
2.
Bersihan Jalan Nafas kembali efektif
3.
Keseimbangan kebutuhan cairan klien tercukupi.
4.
Resiko tinggi kejang berulang tidak terjadi
5.
Kebutuhan Nutrisi klien dapat terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Lumbantobing. 1989. Penatalaksanaan Mutakhir Kejang
Pada Anak.Jakarta : FKUI
Mansjoer, arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III
vol. 1. Jakarta : Media Aesculapius.
Ngastiyah, 1997, Perawatan
Anak Sakit, EGC, Jakarta
Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2,
hal 847. Cetakan ke 9. 2000 bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI
Doenges, E, Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
http://arahmancempi.blogspot.com